Tari Gandrung memiliki ciri khas, mereka menari dengan kipas dan ketika penari menyentuh kipasnya kepada salah satu penonton biasanya laki–laki dan di ajak untuk menari. Keberadaan Tari Gandrung sangat erat kaitannya dengan tari Seblang. Hal itu dapat dilihat dari seni gerak tari maupun unsur-unsur tari yang lain, seperti nyanyian dan alat musik yang digunakan. Hal yang membedakan dengan Tari Seblang adalah sifatnya. Tari Seblang merupakan suatu tarian yang bersifat sakral yang selalu ditandai adanya trance atau kerasukan bagi penarinya, sedangkan Tari Gandrung bersifat sebagai hiburan atau tari pergaulan.
Kesenian gandrung Banyuwangi muncul bersamaan dengan dibabadnya hutan “Tirtagondo” (Tirta arum) untuk membangun ibu kota Balambangan pengganti Pangpang (Ulu Pangpang) atas prakarsa Mas Alit yang dilantik sebagai bupati pada tanggal 2 Februari 1774 di Ulupangpang. Demikian antara lain yang diceritakan oleh para sesepuh Banyuwangi tempo dulu.
Dahulu tari gandrung diperankan oleh laki-laki yang berdandan perempuan maka tidaklah heran jika saat itu orang menyebutnya dengan istilah gandrung lanang dan instrumen alat musik yang digunakanpun juga relatif sederhana tidak selengkap saat ini.Tetapi dalam musik pengiringnya tetep ada ciri khas khusus yang tidak bisa lepas dari musik gandrung yaitu Kendang dan Biola.
Namun seiring berjalannya waktu sekitar tahun 1890-an tari gandrung lanang ini mulai memudar dari bumi blambangan,ada beberapa dugaan yang melatarbelakangi lenyapnya tari gandrung lanang ini yaitu munculnya sejumlah ulama yang memfatwakan bahwa haram hukumnya seorang cowok yang berdandan ala perempuan.Tetapi pada dekade 1914-an lah tari gandrung lanang ini bener-bener lenyap dari bumi belambangan setelah kematian Marsan yang merupakan penari terakhir dari gandrung lanang.
Gandrung sering dipentaskan pada berbagai acara, seperti perkawinan, pethik laut, khitanan, tujuh belasan dan acara-acara resmi maupun tak resmi lainnya baik di Banyuwangi maupun wilayah lainnya. Menurut kebiasaan, pertunjukan lengkapnya dimulai sejak sekitar pukul 21.00 dan berakhir hingga menjelang subuh (sekitar pukul 04.00).
Tarian ini di bawakan sebagai ucapan syukur masyarakan pasca panen dan dibawakan dengan iringan instrumen tradisional khas Jawa dan Bali. Tarian ini dibawakan oleh sepasang penari, yaitu penari perempuan sebagai penari utama atau penari gandrung, dan laki-laki yang biasa langsung di ajak menari, biasa disebut sebagai paju.
0 komentar:
Post a Comment